|
Bayang Kakek
Oleh; Arsusi Ahmad Sama'in
Belum juga genap sepuluh menit aku memejamkan mata, pintu kamar sudah di gedor,"Nia, ayo berangkat!" teriak
kakekku dari luar pintu, aku berdiri menghampiri pintu, tersentak seketika melihat kakekku yang tampak sudah berpenampilan
necis, pakai jaket kulit, sepatu boot lengkap dengan topi koboi usangnya, masih ada lagi dua koper di dekatnya. "Kamu
ini gimana sih, pesawat akan terbang jam sembilan malam ini, kok Kamu masih belum ganti pakaian." Tegur kakek agak keras.
aku diam, ku pandangi kakek dengan rasa welas, "Kek, kakek mau kemana?" kataku yang di sambut dengan mata melebar
oleh kakek. "Loh, kamu ini bagaimana sih, kita kan mau ke rumah A Cheong, dia sudah janji mau menjemputku besok pagi-pagi
di bandara, ayo cepat ganti baju!" sekali lagi aku kena bentak kakek, yang semakin membuatku bingung hendak melakukan
apa. Supaya kakek tidak marah. Akhirnya aku diam saja, sembari memeperhatikan gerak-gerik kakek, hatiku berdesir, ada rasa
teriris mengguris jauh di dasar hati sana, ada rasa ingin menangis dan tertawa bercampur aduk jadi satu.
Semakin di perhatikan, kakek nampak semakin lucu dengan dandannya, meski juga sedih melihat kakekku yang sudah mulai
pikun."Nia! Cepat ganti baju."Sekali lagi kakek menyuruhku. "Iya Kek, tunggu, Kakek duduk dulu di sofa, biar
Nia ambil baju." Sambil memapah kakekku ke sofa, kemudian aku menuju kamar Nenek di sebelahnya."Nek, kakek!"Aku
berbisik di telinga neneknya yang sedang menyulam di tempat tidurnya."Kakek kenapa?" Jawab nenek dengan berbisik
juga, aku menunjuk-nunjuk keluar pintu, dan nenekpun faham. Segera dia keluar dan, "Pah, mau kemana? Kakek menoleh dan
menjawab sekilas,"mau ke Amerika, sudah janji sama A Cheong." Nenek diam, baru kemudian mengambil nafas dan berkata:
Penerbangan di tunda, di udara ada banjir besar, jadi Papah nggak bisa ke Amerika malam ini," kakek kelihatan bengong
sejenak, lalu mengambil telpon, memencet nomer yang tampak hafal di luar kepala, di kamar hpku berdering, kulihat ternyata
nomer telepon rumah yang masuk, rupanya kakek tersebut menelepon nomerku. Aku memberi isyarat pada nenek jika kakek menelepon,
nenek menghampiriku, dan menyuruhnya menjawab telepon tersebut dengan mengatakan jika di Amerika hujan deras, semua pesawat
macet. Aku nurut, hingga akhirnya kakek menyerah dan membongkar koper-kopernya, yang ternyata satu koper berisi baju-bajuku,
yang satunya lagi berisi sepatu dan sandal juga kosmetik dan buku-buku ku. Aku mendesah dan kamipun tertawa bersama.
Menanggapi kami tertawa kakek melebarkan mata, segera aku mendekat dan membantu kakek membongkar begasinya. "Kek,
dua koper ini kok isinya cuma baju-baju Nia, mana baju kakek?" Kakek diam sejenak dan,"sudah! Anak kemarin sore
jangan ceriwis, beresi baju-bajunnya, kembalikan pada tempat masing-masing" Aku mengangguk diam tidak mau berkomentar
apa-apa. Dengan ce" kueresi baju-baju dan sepatuku sendiri. Kini terjawab sudah pertanyaanku mengenai kamar yang tampak
aneh dan bersih sejak siang tadi.
Membenahi pakaian dengan hati yang sunyi, membuatku ingat dengan cerita-cerita tentang kepikunan kakek di masa lalu. Beliau
pernah marah-marah gara-gara tembok kamar mandi. Ketika itu, tepatnya setahun yang lalu, rumah kami di renovasi. Setelah
ruang depan dan tengah, otomatis ganti ruang belakang yang terdiri dari ruang jemuran dan dua ruang kecil buat kamar mandi
dan kamar WC. Nah, sudah bukan rahasia keluarga lagi jika kakekku yang sudah berumur tujuh puluh dua tahun tersebut suka
berlama-lama di WC dan kamar mandi, entah apa yang di sukainya tentang kamar mandi. Mungkin merasa asyik untuk keluar masuk
kamar mandi, atau entahlah, kesepian atau terlalu nganggur, barangkali? Sehingga ketika kamar mandi dan WC dibongkar, dia
merasa kehilangan sesuatu, bahkan sempat membuat kakek teriak-teriak, marah-marah oleh karena dia merasa tempat aktivitas
utamanya jadi bisa di lihat orang dari jalanan. "Men! Ini yang ngerusak tembok siapa?" Teriaknya kakek pada Om
Lasimen yang kebetulan di serahi tugas mengurusi renovasi oleh kami."Wah, aku lihat tadi Mbak Ismi Pak." Jawab
Om Men sambil menahan senyum dan tawa. Aku diam, menahan tawa dan tangis sekaligus."Kok lancang dia, memang dia merasa
membuat tembok WC apa! Berani-beraninya melobangi, membongkar dan merusaknya." Pancingan Om Men mengena, karena Tante
Ismi tak mungkin membongkar tembok, dia perempuan lemah yang setiap kali sakit-sakitan, dan yang kutahu pasti, adalah bapak-bapak
tukang yang telah membongkar habis ruang belakang tersebut."pakai alat apa dia membongkar temboknya tadi?" Tanya
kakek agak masgul marah, sambil berlalu Om Men menjawab,"Pakai Arit gablug*." Kakek diam, memandang lurus kedepan,
entah apa yang dia fikirkan saat itu, aku terenyuh memperhatikan keriput tuanya, mendengar keluh kesahnya, yang telah merasa
bosan terhadap hidupnya, yang terlalu panjang dan tidak mati-mati. Katanya.
Berulang-ualang dia sering juga bercerita kepadaku mengenai teman-teman sebayanya yang telah habis meninggal, saudaranya
yang telah mati semua dan adik-adik kelasnya yang sudah tiada. Yang kesemua itu membuatku semakin sadar jika hidup itu singkat
sekali, kakekku belum juga genap delapan puluh tahun usianya, tapi sudah benar-benar tidak betah tinggal di bumi fana ini,
tidak kerasan lagi.
**
Di suatu siang, aku melihat kakek terpekur di samping pintu belakang, ku hampiri dia, aku berbisik di sisi telinganya,"Kek,
sudah jam dua belas lebih, kakek nggak ingin mandi siang, sebentar lagi azan duhur," kakek menoleh dan menatapku sebentar.
Loh, kamu kok sudah pulang sekolah?"aku mengangguk dan mencari tempat duduk,"Kek, Nia sudah nggak sekolah, bukankah
kakek ingat aku sudah berusia dua puluh tiga tahun, Nia sudah bekerja, dan kebetulah ini kan hari minggu, hayoo, kakek ingat
Mbah Miseri nggak?" he hee..."kakek tersenyum tampak lucu karena tanpa gigi bertengger di gusi."Iya, Miseri
itu usianya jauh di bawahku, dia sekarang dapat pensiun dari perjuangannya dulu, dia veteran. Pada jaman jepang dia itu sebenarnya
masih kecil, padahal saya sudah punya istri, dan aku juga telah menjadi RT di kampung ini. Emm.. Pak Karno juga hebat, dia
itu insinyur, dokter dan tentara juga revolusioner sejati, dia pejuang sejati, mana ada orang seperti Pak Karno saat ini,"
ceritanya panjang lebar tiada henti sampai aku mendapatkan cara untuk menyudahi cerinta itu.
Begitulah caraku membangkitkan semangat hidup kakek, dia selalu senang dan riang jika aku bertanya mengenai perjuangannya
pada masa penjajahan Jepang dan Belanda, maupun masa Gestapo, serasa kepikunannya jadi hilang.
Kebiasaan kakek yang masih aku ingat adalah, kebahagianya duduk berlama-lama di kamar, kesukaannya menghabiskan halaman
buku, dengan tulisan-tulisannya, dengan huruf-huruf jawanya untukku, dan kesenangan kakek merangkai tanggalan-tanggalan jawa
dibuku tulis pemberianku. Kakek juga gemar menuliskan mengenai wuku-wuku jawa, pasaran jawa juga tahun-tahun nas-nya waktu
dimana tidak boleh mantu atau acara-acara sakral lainnya. Kakek, kini sudah lebih dari seratus hari kakekku meninggal. Semua
tentangnya tinggal bayangan. Setiap malam, menjelang tidur kakek menulis, disana selalu ada juga gadis cilik duduk manis di
sampingnya, gadis itu adalah aku, aku yang suka sekali duduk berlama-lama mendengar kakek bercerita, bersuara dan selalu memuji
kepandaianku, dan kelihaianku di dalam menerima pelajaran menulis dengan aksara jawa yang dia ajarkan. Kakek, terimakasih,
kau telah mengajariku mencintai buku, pena dan lampu baca yang remang-remang.
Hong Kong, April 2005
Note:
*Arit gablug :Benda tajam yang tumpul
Selamat Datang Pelangi
Oleh: Arsusi Ahmad Sama'in
Posisiku tercabik-cabik, antara perasaan bersalah dan berontak untuk kesalahan itu sendiri."Mbak tolong dong di cek,
itu artikelnya." Kata penelpon pertamaku, aku pun cemas dengan nada suara itu hingga akhirnya benar-benar tersiksa setelah
membaca. Artikel itu ternyata telah menuduh Al Quran adalah penipu dan pembohong."Mbak bagaimana sih artikel semacam
itu kok bisa lolos!" Bentak penelepon berikutnya, akupun diam tak mampu bersuara, "Mbak, inikan menyinggung umat
Islam!" Jawab penelepon berikutnya sampai aku benar-benar lelah dan tak bisa menjelaskan lagi kepada para penelepon-penelenku.
Bahkan sampai artikel itu di bahas di radio masih ada yang membicarakan artikel itu, ada juga yang lebih melukai hatiku, ketika
ada yang langsung bertanya tentang; sebenarnya apa sih agamaku, Kristen, Hindu, Budha atau Islam!
Hari-hariku terasa gelisah dan gelisah.
Suatu malam aku benar-benar gelisah setelah mendengar akan ada demo di depan kantorku gara-gara artikel itu, sampai akhirnya
kegelisahanku di tangkap oleh bapakku yang malam itu sengaja bangun untuk sholat tahajud."Id, kamu kok belum tidur?"
Sapanya, aku diam tak nyambung, bapak meneruskan urusannya ke kamar mandi dan balik lagi sudah dalam keadaan basah karena
bersuci. Aku biarkan diriku merebah di sofa ruang tamu, di antara keremangan lampu sudut warna biru, nafasku naik turun, perutku
terasa keras oleh karena liverku kumat. Berkali-kali aku mencoba memejamkan mataku namun tak bisa."Id, kamu kenapa
sudah malam kok belum tidur, sudah mau pagi nih?" Sapa bapak dari arah pintu kamarnya, perlahan kubuka mataku di keremangan
itu tanpa suara, bapak mendekat lalu duduk di kursi sebelahku."Kalau kamu ada masalah, cerita dong sama bapak, siapa
tahu bisa di pecahkan bersama,kata bapak tampak bijak. Aku beringsut duduk kemudian berdiri, melangkah menuju kamar mengambil
koran yang ada artikel menyebalkan tersebut, tanpa basa-basi kutunjukan kepada bapak, beliau membaca lalu memandangku tajam
sambil berucap agak keras: Siapa yang nulis ini, dia pasti orang Kristen! Kenapa bisa lolos sensor dan kenapa-kenapa lainnya
keluar begitu mulus dari bibir orang tuaku, dengan nada dia memarahiku, bahkan dia telah menyalahkan aku, memvonisku."Pak,
tidak ada bedanya antara Bapak dan pembaca-pembacaku, semuanya menjatuhkan kesalahan ini hanya padaku, padahal bapak tahu,
di koranku ada beberapa editor, dan perlu bapak ketahui kepalaku sudah mau pecah saat ini, dan bapak masih tega menuduhku?"
Aku berdiri dan lari ke kamar. Sementara dari luar sayup-sayup ada suara Bang Iqbal bertanya sesuatu pada bapak, terdengar
pula bapak menyuruh Bang Iqbal untuk membaca artikel di koran tersebut.
"Id," suara Bang Iqbal memanggilku, seraya mengetuk pintu. "Ada apa! Mau menyudutkan aku! Mau membuat kepalaku
pecah atau mau apa!" Jawabku sadis sambil menangis dan merapatkan selimut. Bang Iqbal masuk dan mengelus kepalaku,"siapa
yang mau menyudutkanmu, siapa yang mau membuat kepalamu pecah, lha wong adikku Cuma satu kamu kok mau di pecah kepalanya."
Jawab abangku santai. Akhirnya akupun membuka selimut yang menutupi kepalaku, abangku tersenyum, perasaanku agak mendingan.
Abangku masih memegang koran itu, dia bilang,"aku yakin adikku nggak salah, adikku juga nggak mungkin nulis artikel ini,
hanya orang yang tidak mengerti kandungan Al Quran saja yang bisa menulis artikel ngawur semacam ini, nah, siapa yang percaya
kalau ini tulisan adikku?" Syarafku semakin rilek mendengar kata-kata abangku, bahkan aku mulai berfikir jika abangku
yang konyol itu ternyata bijaksana."sudahlah kamu tidur dulu, besok ngobrol sama abang," katanya sambil mengusap
anak rambut di keningku. Aneh, aku tiba-tiba ngatuk dan tertidur.
Paginya aku bangun kesiangan, hingga pukul setengah tujuh aku baru menjalankan sholat shubuh. Di ruang tengah tampak Bang
Iqbal sudah duduk manis dengan peci warna putih bertengger di kepalanya, sambil menonton Liputan 6 Pagi SCTV. Aku berlalu
ingin segera sholat dan tidur lagi, sebab mataku masih ngantuk,"mau bobok lagi Id?" Sapa Bang Iqbal yang kusambut
dengan anggukan lemah pengantuk berat. Dia tersenyum sekilas dan kembali memperhatikan TV.
Hawa sejuk pagi hari membuatku kehangatan berada didalam mukena, serasa dalam pelukan Illahi. Agak lama aku merenung di
atas sajadahku itu, lama tiada terasa air mataku kembali tumpah; Ya Allah, sungguh manusia itu lemah, dan kelemahan itu akan
lebih parah seandainya tidak di sertai kesabaran, seminggu terakhir ini aku benar-benar lelah tanpa bekerja. Ya Allah, kenyataannya
berurusan dengan-Mu itu jauh lebih mudah jika di bandingkan dengan sesamaku. Ya Rob, mengapa manusia suka melupakan dirinya
sendiri? Sejenak aku terpekur memikirkan sikap pembacaku yang seakan menuduhku menulis artikel yang tak layak di muat di koran
yang memiliki pembaca 99% adalah orang Islam.
Memang aku mengaku salah dengan terangkatnya artikel itu ke permukaan, meskipun hatiku juga berontak, karena secara
pribadi aku juga sakit, sakit oleh karena kitab suciku di hina orang, di lecehkan orang tanpa pengetahuan dan solusi yang
pasti, maka jika orang mau lebih memahamiku dia akan melihat posisiku yang tercabik-cabik, antara perasaan bersalah dan marah
untuk kesalahan itu sendiri.
Hampir dua minggu aku menghindari berdekat-dekat dengan orang yang aku tidak yakini bahwa dia benar-benar mengerti posisiku.
Aku hanya mau berbicara dengan Pak Ustad, Bang Iqbal dan beberapa teman dekatku, sungguh, mereka sangat berarti bagiku. Merekalah
yang memberiku kekuatan dan membangunkan kesadaran prinsip utamaku dalam menghadapi Tuhan dan kejujuran."Bukankah Allah
Maha Tahu, Perkasa, Pengampun dan Penentu nasib manusia, Allah sedang menguji kesabaranmu Id," begitulah, mereka selalu
mengingatkan aku, "dan dapatkanlah hikmahnya setelah semua ini berlalu." Demikian sambung ibu.
Diam-diam aku juga heran dengan kenyataan, permohonan maaf telah di laksanakan, perleraian demi perleraian telah kita
lakukan, namun tiada membuat nuansa panas menjadi dingin, begituhkah ajaran Islam? Tidak! Islam tidak begitu, Islam tidak
kejam, Islam tidak keras, dan tidak mengajarkan mencari-cari kesalahan orang lain."Ah, sudahlah, kini tiba waktunya aku
mencari hikmah dari semua ini, langkah utama sudah usai. Aku belajar diam, belajar sabar dan tidak boleh malas memeriksa setiap
artikel yang akan kami keluarkan. Bahkan bukan hanya artikel, apapun harus di cek ulang, bukankah tidak ada manusia yang sanggup
menjamin dirinya sendiri? Bukankah hanya Allah yang memiliki jaminan itu? Oh, ya Allah, lindungilah aku dari bisikan syetan
yang sering bersembunyi. Jangan biarkan aku menyia-nyiakan amalanku hanya demi sesuatu yang tiada abadi." Ku picingkan
mataku, dari ujung pandangan tampak wajah-wajah merah yang tiada berkedip, wajah merah berona iri dan dengki. Aku diam dan
belajar sabar, hingga wajah itu terpuruk oleh mendung tebal, terguyur hujan lebat, terpecut petir dan terhanyut banjir.
Selamat datang pelangi.....
Hong Kong, April 2005
Sensasi Menulis
Arsusi Ahmad Samain
Kupaksakan tanganku menulis isi kepalaku, meski itu susah sekali. Entahlah, sudah hampir tiga bulan ini aku benar-benar
tidak bisa menulis cerita, meskipun perasaanku sangat ingin menulis. Dan kini kepalaku telah terasa penuh berdesak, hingga
terasa ada yang saling menekan menarik, ada yang keluar dan masuk. Hal ini sangat menyiksaku, karena aku tidak akan bisa mengulas
pelajaran-pelajaran di kelasku atau menulis berita-berita liputanku untuk majalah dinding di sekolahku. Aku mendesah, sesaat
tersenyum tipis, hatiku berbicara,”mungkin gejala-gejala inilah yang membuat banyak penulis berkesan semrawut dan
acak-acakan, bahkan banyak yang tidak perduli dengan penampilannya, mereka telah di sibukkan oleh pikirannya sendiri yang
kadang penuh dan kosong tanpa di sadarinya.
Microsof word* sudah aku buka, tetapi tetap saja aku bingung untuk memulai menuliskan kalimat, hingga beberapa kali aku
harus gagal setelah satu atau dua kalimat terpapar, sungguh tidak mudah memulai tulisan, sering aku mengambil keputusan yang
kelihatannya konyol, dengan memulai tulisan-tulisan yang bernada menyebalkan, seperti kalimat: Jutek abizz, pusiiiing nggak
bisa nulis! Ataupun kalimat apa saja yang paling menonjol, bahkan tak jarang kalimat yang menojol itu berupa makian atau sesalan,
seperti juangkrik! Dan lain sebagianya sampai kurasa satu demi satu isi otak yang membebani kepalaku keluar tanpa sengaja.
Meski hasil tulisanku tidak beraturanm atau bahkan tidak nyambung alurnya dari paragraf satu ke paragraf selanjutnya aku tidak
perduli, yang penting aku harus memuntahkan segala yang mengganjal di kepala hingga reda, nyaman dan berhasil membuatku
bernafas nikmat. Sebab untuk berbicara soal menulis dengan benar, aku bukanlah orangnya, aku sama sekali tak pernah belajar
menulis secara spesial, dan aku juga bukan anggota dari kumpulan sastrawan, bahkan aku juga bukan seorang penulis yang telah
mencetak cerpen atau novelnya, namun demikian aku selalu ketagihan menulis! Menuliskan keluh kesahku telah aku lakuan sejak
aku bisa menulis. Seingatku sejak di bangku sekolah dasar aku sudah biasa mencoreti buku pelajaranku,menulis itu asyik! itu
kesan pertamanku. Kurasa dengan menulis aku bisa belajar berkonsentrasi, fokus terhadap apa saja yang aku anggap menarik,
bahkan bagiku menulis merupakan jenis terapi yang sangat bagus buat indera keenamku, mengapa saya menilai demikian? Tak lain
oleh karena pengalamanku sendiri yang tanpa di duga sering mendapatkan hal-hal yang baru di luar dugaan, menulis berarti menggabungkan
imajinasi dan konsentrasi, dan apabila telah bergabung dengan sempurna kita akan mampu mengungkap rahasia alam yang tiada
pernah disadari oleh diri sendiri, hal itu aku namai dengan istilah:Sensasi menulis.
Ku tutup lagi komputerku oleh karena melamun sepertinya lebih bagus kulakukan ketimbang menulis, suasana pagi yang sejuk,
tidak banyak orang yang berlalu lalang di depan rumah, semuanya tampak dari balik jendela kamarku. Anak-anak sekolah pasti
masih pada duduk manis di kelas untuk menyelesaikan tugas belajarnya di bangku. Orang-orang sekitar juga sedang bekerja, sibuk
di sawah ataupun juga sibuk melakukan aktivitas lainnya, sementara para ibu rumah tangga masih sibuk dengan urusan rumahnya
masing-masing, ugh! Diam-diam aku menyukai suasana sepi seperti ini, penuh kenyamanan oleh karena dunia tampak terasa masih
lebar dan luas, beda sekali dengan suasana tempat kerja kakakku di Hong Kong, yang orang-orannya seperti tidak pernah merasa
lelah. Mereka bekerja dari pagi sampai sore, bahkan tidak sedikit yang bekerja hingga malam, seakan rumah hanyalah tempat
persinggahan sementara ketika harus ganti baju dan menaruh barang-barang belanjaan, oleh karena makan malampun mereka biasa
melakukan di café atau restoran. Maka, setiap kali aku ingat cara hidup kakaku di Hong Kong aku jadi suka bertanya kepada
diriku sendiri : Apa enaknya melakukan gaya hidup seperti itu? Kebutuhan hidup dan biaya hidup di Hong Kong ini mahal, udara
juga susah di tebak, kadang panas kadang hujan tanpa tanda-tanda yang jelas, bahkan ketika aku di ajak berlibur kesana tahun
lalu, tepatnya bulan September, wuiiiiih puanaas dan udaranya bikin lengket, pokoknya sangat tidak nyaman. Aku tahu setiap
orang ingin cukup materi dan punya tabungan, tetapi hati kecilku selalu protes, tidak terima seandainya harus melakukan gaya
hidup seperti kebanyakan orang-orang Hong Kong, yang hampir tidak pernah santai dan beristirahat dengan benar.Ah, aku tidak
mau hidup layaknya orang-orang Hong Kong , aku telah di ciptakan menjadi orang Indonesia oleh Tuhan, mengapa tidak aku menikmatinya?
Aku mencintai rumahku, halamanku dan suasana pagi yang penuh suara anak-anak TK dan sekolah dasar yang melintas di depan rumahku,
aku mnyukai semua yang ada di lingkunganku, yang kadang rasanya aku ingin mengabadikan suasana lingkungan rumahku ke dalam
sebuah buku, supaya kelak bisa di baca oleh generasi penerusku, ketika suasana itu telah mati atau musnah, meski aku juga
paham jika menulis itu tidak semudah kita membaca. Penilaian ini aku petik dari pengalamanku sendiri di saat ada tugas mengarang
dari Pak Joyo Wilujeng guru Bahasa Indonesiaku, sungguh! Betapa sulitnya aku mencari cara, supaya tulisanku bisa benar, enak
dan mengena di hati pembaca waktu itu. emmm..
Aku melamun hingga tiba-tiba aku di kagetkan oleh suara menguing cukup panjang dari arah dapur, segera aku berbalik dan
lari ke arahnya, "ouh! Aku tadi merebus air, untung sekali aku menggunakan ceret** rebusan air secara kusus yang apabila
sudah mendidih akan menimbulkan bunyi nguing-nguing seperti ini." Batinku berbicara sendiri, sembari memasukan air yang
telah mendidih ke dalam termos air panas. Sementara ketika aku tanpa sengaja melongok kebelakang, tampak kakekku sedang duduk-duduk
di dekat pintu, dia merokok dengan sekali-kali mengeluhkan keadaan tubuhnya yang telah renta tetapi tidak mati-mati, bahkan
sering juga dia mengeluh ketika mendengar tetangga atau saudaranya yang jauh lebih muda darinya tetapi malah matinya lebih
duluan. Tertarik hatiku untuk mendekatinya,"Kek, mau Suzi bikinkan kopi?" dia menoleh sedikit tidak menyahut, malahan
menunjukan lengannya yang kurus, segera kesambut tangannya, kuelus dengan dada yang gemuruh, entahhlah keharuanku melihat
kakekku yang telah tua renta itu tiada bisa di ucapkan, kucium jemari tangannya sembari berucap,"tadi makan paginya enak
apa enggak, kalau enggak enak biar aku belikan makanan di depot, kakek mau makan apa?"Dia tersenyum dan menjawab,"lidahku
itu sudah mati rasa, jadi makan apapun juga tetap nggak enak, kamu belikan rokok saja buat aku, makananku cuma rokok."
Aku mendesah, dalam hati aku kasihan dengan nafasnya yang telah berat, tetapi mengingat usianya yang telah renta aku takut
tidak punya waktu banyak untuk menuruti permintaannya, hingga akhirnya aku hanya bisa mengangguk menyetujui permintaannya.
Brokk! Ada yang menutup pintu belakang, ku tengok rupanya nenek, dia baru saja datang entah darimana, kulihat dia membawa
semangkuk sup dan sepiring nasi."Dari mana Nek?" tanyaku ketika dia masuk melewati pintu dimana aku dan kakek duduk-duduk."Dari
rumahnya Tante Ismi, ini makanan buat kakek."Mendengar namanya di sebut dia langsung menoleh dan bertanya,"sayur
apa?" tanpa menoleh dan melihat ke arah nenek sedikitpun. Aku tersenyum, aku tahu kakekku tidak selera, nenek berlalu,
menaruh makanan yang di bawanya di lemari makan. Kembali kuperhatikan kakek yang mulai mengutak-utik jari-jari kakinya yang
sudah tidak lagi tertata rapi, melainkan telah saling tumpuk meski telah di sejajarkan lagi. Aku turut memperhatikan jemari
kakek dan membicarakannya hingga tiada terasa jam sudah menunjukan pukul 11 siang, tiba waktunya bagi kaum laki-laki untuk
bersiap-siap berangkat jumatan. Kakekpun berdiri untuk mempersiapkan diri ke Masjid.
Siang merambat ke sore serasa begitu pelan, rumah terasa sepi sekali, nenek dan kakekku istirahat di kamar masing-masing,
ibu belum pulang, entah kemana saja, aku sendiri tidak ingin tidur, bukan kebiasaanku melakukan tidur sore di Hong Kong.
Akhirnya kubuka komputerku lagi, kubuka-buka cerita-ceritaku yang terputus di tengah jalan, sembari menguatkan niatku untuk
menyelesaikan semua ceritanya sampai selesai.
Hong Kong, 15-Januari-2005
Catatan kaki:
*Program Komputer untuk mengetik naskah atau artikel
**Teko kusus untuk merebus air
**
|